Opini Detail

Adilnomic Presiden Berantas Serakahnomic Di 5 Sektor Darurat

Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin


Istilah "Serakahnomic" yang digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto bukan hanya kata-kata kosong. Ini adalah nama yang sangat tepat untuk penyakit kronis yang sudah lama menggerogoti keadilan sosial dan ekonomi di Indonesia.

Singkatnya, Serakahnomic adalah sebuah sistem ekonomi di mana kekayaan alam yang seharusnya dinikmati seluruh rakyat, justru dikuasai dan dinikmati oleh segelintir elite serakah. Sistem ini jelas menyimpang jauh dari amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 dan Pasal 27 UUD 1945.

Serakahnomic lahir dari gabungan keserakahan, korupsi, dan ketidakadilan yang sudah mengakar kuat. Hasilnya adalah jurang pemisah yang semakin dalam antara yang kaya dan yang miskin, sebuah kondisi yang mengkhianati cita-cita luhur para pendiri bangsa.

Namun, di hadapan penyakit Serakahnomic ini, bangkit kekuatan moral luar biasa dari rakyat, yang disebut "Adilnomic". Ini adalah wujud dari rasa muak rakyat terhadap kesenjangan yang terlalu lebar antara kekayaan dan kemiskinan.

Rakyat Adilnomic menuntut sistem ekonomi yang adil untuk semua orang, bukan hanya untuk segelintir elite serakah. Ini adalah perwujudan nyata dari Sila Kelima Pancasila: "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia."

Dukungan rakyat Adilnomic menjadi modal utama bagi siapa pun, termasuk kepada Presiden Prabowo Subianto untuk berantas Serakahnomic. Dukungan ini adalah komitmen moral untuk menegakkan keadilan ekonomi yang terus tergerus.

Seperti yang ditegaskan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR RI pada 14 Agustus 2025, “Saya pastikan perusahaan-perusahaan besar yang melanggar, kami proses hukum dan kami sita yang bisa kami sita. Kami akan selamatkan rakyat. Kami pastikan rakyat Indonesia tidak menjadi korban Serakahnomic – korban para pengusaha yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan menipu dan mengorbankan rakyat Indonesia.”

Dampak Nyata Serakahnomic, Data Ekonomi dan Keuangan Negara

Dampak dari Serakahnomic terlihat jelas dari berbagai data yang ada. Laporan Oxfam dan INFID tahun 2017 mencatat kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin.

Data BPS menunjukkan bahwa ketidakadilan pengeluaran di Indonesia masih menjadi isu signifikan. Rasio Gini pada Maret 2024 tercatat 0,379 dan naik tipis menjadi 0,381 pada September 2024. Analisis lebih dalam dari data BPS, Kelompok 20% penduduk terkaya menyumbang 45,56% dari total pengeluaran nasional per Maret 2025.

Sementara itu, kelompok 40% penduduk terbawah, yang mencerminkan lapisan masyarakat termiskin, mencatatkan porsi pengeluaran sebesar 18,65% per Maret 2025. Angka ini naik dari 18,41% pada September 2024 dan 18,40% pada Maret 2024. Angka ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum merata dan manfaatnya belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Laporan dari Bank Dunia melalui publikasi Indonesia Economic Quarterly tahun 2024 mengonfirmasi bahwa meskipun ada pertumbuhan kelas menengah, ketidaksetaraan pendapatan tetap menjadi masalah yang signifikan.

Data World Inequality Report 2022 semakin menguatkan fakta ini, mencatat bahwa 10% penduduk teratas memiliki 40-50% pendapatan nasional, sedangkan 50% penduduk termiskin hanya memiliki 12-18% dari total pendapatan nasional.

Temuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan Asian Development Outlook (ADO) juga menyoroti bahwa ketidaksetaraan pendapatan menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang merata dan inklusif.

Dampak Serakahnomic tidak hanya terlihat dari ketidakadilan, tetapi juga dari beban yang ditimbulkannya pada keuangan negara. Utang pemerintah per 31 Oktober 2024 tembus Rp 8.560,36 triliun. Nilai utang itu naik sekitar 1,02% dibanding posisi per akhir September 2024 sebesar Rp 8.473,90 triliun. Nilai utang itu membuat rasio utang terhadap PDB atau debt to GDP ratio ke posisi 38,66% atau naik dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar 38,49%.

Angka ini menunjukkan bahwa dana yang seharusnya dapat digunakan untuk program kesejahteraan rakyat, seperti subsidi, pendidikan, atau kesehatan, justru habis untuk membayar utang.

Data Peningkatan beban ini, ditambah dengan terindikasi kerugian negara dari Tax Justice Network melaporkan bahwa Indonesia kehilangan pendapatan negara akibat praktik penghindaran pajak, termasuk transfer pricing sekitar Rp 68,7 triliun pada tahun 2020, menunjukkan betapa seriusnya ancaman Serakahnomic terhadap stabilitas fiskal dan masa depan bangsa.

Tantangan Berantas Serakahnomic

Serakahnomic bukan hanya fenomena, melainkan sebuah sistem segelintir elite serakah yang terstruktur, menggabungkan kekuasaan politik dengan kepentingan bisnis. Praktik ini terlihat dari hubungan politik yang memberikan hak monopoli kepada kroni-kroni penguasa di sektor-sektor strategis.

Data Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2023 adalah 34 dari 100, yang stagnan dari tahun sebelumnya. Angka ini membuktikan bahwa virus Serakahnomic ini masih mengakar kuat. Kajian INDEF menunjukkan praktik regulatory capture ini terlihat dari pembuatan kebijakan yang menguntungkan kelompok bisnis tertentu di sektor komoditas dan logistik.

Upaya pemberantasan praktik ini oleh Ditjen Pajak (DJP) dan BPK sering kali terhambat oleh celah hukum dan lobi-lobi politik. Laporan DJP dan BPK menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan besar yang tidak patuh membayar pajak, terutama di sektor pertambangan dan perkebunan, yang merupakan ladang subur bagi Serakahnomic.

Jika posisi-posisi kunci di sektor ekonomi dan hukum, seperti di Kementerian Keuangan, ATR/BPN, ESDM, Pertanian, Kehutanan, Perdagangan, hingga di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Aparat Penegak Hukum diisi oleh orang-orang yang memiliki rekam jejak terkait segelintir elite, maka keinginan berantas Serakahnomic hanyalah ilusi.

Maka itu, tuntutan untuk audit rekam jejak dan uji publik (public vetting) yang melibatkan masyarakat menjadi sangat penting dan mutlak diperlukan.

Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih yang diamanahkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan diperkuat oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Masalah Kritis dan Solusi untuk Berantas Serakahnomic di 5 Sektor Darurat

1. Agraria dan Pertanahan Nasional

Sektor ini adalah titik sentral di mana Serakahnomic berakar. Praktik perampasan tanah (land grabbing), dualisme sertifikasi, dan monopoli kepemilikan lahan oleh sekelompok elite adalah masalah kronis.

Laporan KPA mencatat 295 konflik agraria pada tahun 2024, di mana 173 di antaranya melibatkan petani sebagai korban. Data WALHI tahun 2022 menunjukkan ketimpangan ekstrem, hanya sekitar 5,2% dari total lahan yang diberikan pemerintah diperuntukkan bagi rakyat, sementara 94,8% dikuasai oleh korporasi. Ini adalah pengkhianatan fundamental terhadap prinsip keadilan agraria.

Data dari Sensus Pertanian 2023 BPS mengonfirmasi ketimpangan ini. Dari sekitar 27,802 juta rumah tangga usaha pertanian, sebanyak 17,251 juta adalah petani gurem, yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare. Angka ini secara tegas menunjukkan betapa Serakahnomic merenggut hak petani atas tanah mereka sendiri.

Perpanjangan jangka waktu HGU yang kini memiliki jangka waktu lebih panjang membuka potensi monopoli lahan lebih lama oleh segelintir korporasi.

LHP Semester I Tahun 2024, BPK menemukan adanya sistem dan prosedur pengurusan sertifikat tanah dan perizinan hak atas tanah yang belum optimal pada Kementerian ATR/BPN. Temuan ini dianggap berpotensi membuka celah dan mempermudah praktik mafia tanah.

Solusi yang perlu dilakukan:

- Jalankan reforma agraria sesuai amanat UUPA secara masif. Lakukan audit forensik terhadap seluruh HGU, HGB, dan izin konsesi lahan skala besar sesuai Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Cabut izin yang tidak produktif dan terindikasi KKN.

- Redistribusikan lahan atau tanah yang sudah dicabut izinnya, untuk dikelola petani, nelayan, koperasi desa dan masyarakat adat, tentunya dengan pengawasan ketat, transparan dan akuntabel

- Bangun sistem sertifikasi tanah yang transparan, terintegrasi, dan bisa diakses publik secara real time untuk mencegah dualisme sertifikat dan praktik mafia tanah yang sudah merajalela, sejalan dengan semangat PP Nomor 18 Tahun 2021.

- Bentuk Satgas khusus untuk menindak tegas mafia tanah sesuai Pasal 385 KUHP dan Pasal 366 KUHP terkait pemalsuan surat. Terapkan hukuman maksimal, termasuk penyitaan aset dan denda masif, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, untuk memberikan efek jera.

2. Energi dan Sumber Daya Mineral

Sektor ESDM adalah harta karun yang paling banyak diincar Serakahnomic. Ia berwujud dalam perizinan tambang yang diobral dan praktik monopoli yang merugikan rakyat.

Kementerian ESDM mencatat pencabutan 2.078 IUP pada 2022 dan Kementerian Investasi/BKPM mencabut 2.051 IUP pada 2024. Setelah ditertibkan, pada Juli 2025 Kementerian ESDM mencatat ada 4.250 IUP yang masih aktif. Penerbitan dan Pencabutan IUP ini menunjukkan fakta bahwa sektor ESDM selama ini bermasalah parah.

IHPS I Tahun 2024 pada Oktober 2024, BPK menemukan adanya potensi PNBP senilai Rp71,7 miliar yang belum masuk ke kas negara, berdasarkan hasil pemeriksaan atas pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) tahun 2021-2023.

Selama semester II tahun 2024, BPK telah menyelamatkan potensi kerugian dan kekurangan penerimaan sebesar Rp43,43 triliun. Serta mendorong penghematan pengeluaran negara melalui koreksi subsidi atau public service obligation kompensasi tahun 2023 sebesar Rp1,09 triliun. Temuan ini menegaskan adanya ketidakpatuhan perusahaan dan kelemahan dalam pengawasan yang berujung pada hilangnya pendapatan negara.

Selain itu, BPK pada tahun 2022 menyoroti lemahnya penertiban IUP yang telah dicabut, sehingga masih banyak perusahaan melakukan aktivitas ilegal dan tidak membayar jaminan pascatambang.

Solusi yang perlu dilakukan:

- Cabut semua izin tambang yang terindikasi KKN atau merugikan negara, sesuai dengan semangat UU Nomor 2 Tahun 2025 tentang pertambangan minerba. Tinjau ulang seluruh peraturan untuk memastikan royalti dan pajak yang dibayarkan perusahaan benar-benar maksimal bagi kas negara sesuai PP Nomor 53 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNPB di Bidang Usaha Pertambangan.

- Nasionalisasi Aset Strategis, tinjau kemungkinan untuk mengambil alih kembali perusahaan-perusahaan tambang yang terbukti melanggar hukum, sesuai Pasal 33 UUD 1945.

- Transparansi Perizinan, buat sistem perizinan tambang yang terintegrasi dan bisa diakses publik sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

- Berikan hukuman terberat dan sita aset bagi pejabat dan pengusaha yang menjual kekayaan alam negara untuk kepentingan pribadi, berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang terkait dengan perusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan.

3. Pertanian dan Perkebunan

Di sektor ini, Serakahnomic bersembunyi di balik kebijakan impor pangan yang tidak transparan dan praktik monopoli lahan. BPS mencatat impor beras tahun 2023 mencapai 3,06 juta ton, naik drastis hingga 613,61% dibandingkan tahun 2022 yang sekitar 429.210 ton, menjadikan impor beras pada 2023 sebagai yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Lonjakan impor ini, di tengah klaim swasembada, memunculkan kecurigaan adanya permainan mafia yang menciptakan kelangkaan buatan.

Praktik ini merugikan petani dan rakyat secara langsung, sebagaimana tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) BPS, pada Juli 2024 tercatat hanya 119,61. Angka ini menegaskan bahwa petani masih menghadapi tekanan akibat kenaikan biaya produksi.

LHP BPK Semester I Tahun 2024 mengonfirmasi ketidakberesan dalam penyaluran subsidi. Pada 10 BUMN BPK menemukan bahwa dalam pengelolaan subsidi terdapat ketidaksesuaian dengan peraturan-perundang-undangan sebesar Rp461,63 miliar. Koreksi tersebut diantaranya juga berasal dari subsidi pupuk sebesar Rp338,52 miliar.

Di sektor perkebunan, Serakahnomic melakukan praktik ekonomi serakah yang merusak sektor perkebunan. Fenomena ini menyebabkan ketidakadilan terhadap masyarakat, terutama petani kecil, perusakan lingkungan, dan kerugian negara.

Data BPK pada 2019, audit menemukan 2,7 juta hektare kebun sawit ilegal di kawasan hutan. Kemudian BPS pada 2023 menunjukan 72,19 persen petani di Indonesia merupakan petani skala kecil dengan rata-rata pendapatan bersih sebesar Rp 5,23 juta dalam setahun.

Solusi yang perlu dilakukan:

- Bentuk tim khusus dari Kejaksaan Agung, KPK, Polri, dan KPPU untuk menindak tegas mafia impor pangan. Tinjau ulang seluruh kuota impor sesuai UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Permendag Nomor 40 Tahun 2023.

- Reformasi Agraria Total, lakukan audit menyeluruh terhadap kepemilikan lahan perkebunan skala besar dan distribusikan lahan yang telah dicabut izinnya kepada petani kecil dan koperasi desa.

- Sediakan subsidi pupuk dan benih yang benar-benar sampai ke tangan petani, bukan ke tangan para tengkulak. Gunakan teknologi digital untuk memastikan bantuan tepat sasaran sesuai UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

- Berdayakan petani dengan skema koperasi desa yang kuat sesuai UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dan dukung implementasi PP Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.

4. Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Kehutanan adalah sektor di mana Serakahnomic paling brutal. Hutan kita dirusak habis-habisan oleh praktik illegal logging dan alih fungsi lahan. Laporan Global Forest Watch (GFW) mencatat kehilangan hutan alam sebesar 259 ribu hektare pada tahun 2024, yang setara dengan 194 juta ton emisi CO2. Ini adalah bukti nyata bagaimana Serakahnomic merusak ekosistem demi keuntungan segelintir elite.

LHP Semester I Tahun 2023 dari BPK menemukan adanya potensi kerugian negara akibat izin pinjam pakai kawasan hutan yang tidak optimal dalam pembayaran PNBP di beberapa daerah. Selanjutnya menyoroti ketidaksesuaian laporan antara perusahaan dan pemerintah mengenai luas lahan yang dikerjakan dan volume produksi kayu, yang berpotensi menyebabkan kebocoran PNBP di sektor kehutanan.

Solusi yang perlu dilakukan:

- Hentikan sementara seluruh penerbitan izin baru untuk konsesi kehutanan. Lakukan audit menyeluruh terhadap semua izin yang sudah ada dan cabut yang terbukti melanggar sesuai UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

- Terapkan hukuman berat, termasuk sanksi lingkungan masif dan penyitaan aset, bagi perusahaan dan oknum pejabat yang terlibat perusakan hutan sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

- Berikan pengakuan penuh dan perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan mereka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Jadikan mereka sebagai penjaga hutan yang paling efektif.

- Wajibkan perusahaan yang merusak hutan untuk membiayai rehabilitasi dan reforestasi. Hal ini sejalan dengan PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

5. Perdagangan Dalam Negeri dan Luar Negeri

Perdagangan adalah lini Serakahnomic yang paling halus dan mematikan. Mafia dagang mengendalikan harga komoditas vital dan menciptakan praktik kartel yang merugikan konsumen dan produsen kecil.

Pada tahun 2017, perbandingan harga jual beras di tingkat petani, yang seringkali hanya Rp 5.000/kg, dengan harga di tingkat konsumen yang mencapai Rp 15.000/kg (atau lebih) menunjukkan margin keuntungan yang sangat besar dinikmati oleh perantara, seperti data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN).

Ini adalah bukti nyata bagaimana kartel mengendalikan rantai pasok dan menindas rakyat. Kasus penetapan harga minyak goreng yang melibatkan pejabat dan pengusaha menjadi bukti paling terang bagaimana kartel dan kolusi merugikan masyarakat.

Berbagai laporan menemukan adanya ketidakpatuhan importir dalam penyaluran dan pelaporan barang impor, khususnya di sektor pangan, yang berpotensi memicu kelangkaan dan praktik penimbunan. BPK juga menyoroti kelemahan pengawasan Bea Cukai yang mengakibatkan potensi kerugian negara dari praktik under-invoicing dan under-valuation.

Solusi yang perlu dilakukan:

- Lakukan audit forensik terhadap semua perizinan impor dan ekspor komoditas strategis. Ungkap dan tindak tegas mafia yang bermain harga sesuai UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

- Berikan akses pasar dan dukungan penuh kepada UMKM dan lindungi mereka dari praktik kartel. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.

- Bentuk sistem informasi harga komoditas yang transparan dan bisa diakses publik, untuk memastikan semua harga sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

- Perkuat dan aktifkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara maksimal dan berikan wewenang yang lebih kuat sesuai UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan PP Nomor 44 Tahun 2021.

Perjuangan Bersama untuk Indonesia Berkeadilan

Secara keseluruhan, Serakahnomic adalah sebuah sistem segelintir elite yang telah menggerogoti keadilan sosial dan ekonomi di Indonesia. Data dari berbagai pihak memberikan bukti konkret tentang kerugian keuangan dan perekonomian negara yang ditimbulkan oleh Serakahnomic, ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman Serakahnomic terhadap stabilitas fiskal dan masa depan bangsa.

Namun, di tengah kenyataan ini, bangkit kekuatan moral rakyat yang disebut Adilnomic. Dukungan rakyat Adilnomic kepada Presiden Prabowo Subianto berantas Serakahnomic bukanlah dukungan biasa, melainkan komitmen moral yang berlandaskan pada amanat Pasal 33 UUD 1945.

Dengan demikian, perjuangan ini adalah perjuangan bersama untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang berkeadilan, di mana kekayaan alam yang dikuasai negara benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Jakarta , 25 Agustus 2025